"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (QS. Al-Baqarah: 222)
Islam adalah agama komprehensif (kaffah). Ajarannya menyentuh segala aspek kehidupan. Termasuk di dalamnya tentang kebersihan. Tidak ada agama yang mengajarkan secara detil tentang kehidupan manusia kecuali Islam.
Dalam Islam, kebersihan memiliki tempat yang sangat penting dalam ajarannya, hingga Rasulullah saw bersabda “Ath-Thuhur syathrul Iman” (kesucian itu adalah sebagian dari iman). Bahkan dalam kitab-kitab fiqih pun, para ulama selalu menempatkan “Bab Thaharah” (Bab tentang kesucian) pada bab pertama dalam kitab-kitab mereka.
Kesucian dan kebersihan yang terdapat dalam islam mempunyai dua sisi; kebersihan fisik dan kebersihan batin. Kebersihan fisik kita dapat dilihat dari bagaimana suatu ibadah yang bercampur najis tidak dianggap sah. Dalam hal wudhu saja, kebersihan fisik menyentuh anggota tubuh yang vital. Sebab dalam wudhu, air akan membasuh lima panca indera manusia yang vital, seperti mata (indera penglihatan), hidung (indera penciuman), telinga (indera pendengaran), mulut dan lidah (indera perasa), dan kulit (indera peneyntuh). Demikian juga kewajiban mandi wajib bagi orang yang junub atau bersih dari haidh dan nifas. Belum lagi perintah sunnah mandi pada moment-moment penting berkumpul dengan manusia, seperti shalat jum’at, shalat id dan lain sebagainya.
Dari sisi kebersihan batin, ibadah wudhu mengisyaratkan pesan agar anggota tubuh vital itu dijaga dari segala macam kemasksiatan. Mata, telinga, hidung, lidah, kulit hanya boleh digunakan pada pekerjaan yang mendatang keridhoan Allah SWT.
Mengapa Allah SWT mewajibkan kita bersuci? Karena Allah SWT mencintai orang yang mensucikan diri. Firman Allah SWT: ”Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri”
Jika Allah SWT menyukai manusia selalu mensucikan dirinya, itu karena Allah menciptakan kita di awal kejadian, dalam keadaan suci. Sebagaimana sabda Rasulullah saw, “Setiap manusia yang dilahirkan itu berada di atas kesucian, maka kedua orang tuanya yang menyebabkan dia bersikap Yahudi, Nasrani atau Majusi” (HR; Muslim). Kesucian penciptaan manusia juga dapat dilihat dari firman Allah SWT dengan sumpah-Nya kepada tiga tempat suci. Allah SWT berfirman yang artinya, “Demi buah Tin dan Zaitun, dan demi bukit Sinai, dan demi kota (mekkah) yang aman ini. Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya” (QS. At-Tien: 1-4).
Pada ayat ini Allah SWT bersumpah kepada tiga tempat suci yakni: tempat tumbuhnya buah Tin dan Zaitun di negeri Yuressalem (Baitul Maqdis), bukit Sinai; tempat nabi Musa as menerima wahyu dari Tuhannya,dan Makkah sebagai tempat yang aman dan negeri kelahiran Nabi saw. Ketiganya adalah tempat yang disucikan.
Dengan demikian, pada dasarnya, asal muasal kejadian manusia adalah dalam keadaan suci, sehingga untuk menjaga kesucian itulah, Allah dan Rasul-Nya memberi fasilitas agar kita menjaga kesucian melalui wudhu, mandi dan ibadah.
Penulis pernah mempunyai pengalaman, Pada musim haji tahun 2007 lalu, ada seorang jamaah haji yang –insya Allah– wafat dalam keadaan husnul khatimah (baik kesudahannya). Beliau wafat persis setelah melaksanakn wukuf di Arafah dan mabit di Muzdalifah. Namun, saat akan melaksanakan thawaf ifadhah, beliau merasa pusing setelah sebelumnya mengambil air wudhu, tidak lama kemudian, beliau meminta pada suaminya agar dirinya diperdengarkan ayat-ayat suci al-Quran, kemudian dia berkata, “Pak insya Allah semua jamaah haji yang di pondokan (hotel) ini mabrur, Pak saya minta izin pamit lebih dahulu” Tidak lama setelah berkata seperti itu, beliau mengucap dua kalimat syahadat kemudian wafat.
Esoknya beliau dishalati masih dalam keadaan berpakaian ihram. Beliau wafat di tanah suci, dan dishalatkan di Masjidil Haram yang suci, oleh jutaan jamaah haji yang datang dengan tujuan suci, yakni ibadah haji.
Kondisi kematian yang –insya Allah– husnul khatimah itu, ternyata tidak terjadi dengan secara kebetulan, tapi ditentukan amal yang pernah diperbuatnya.
Keessokan harinya, saya bertanya kepada suaminya tentang amalan almarhumah selama hidupnya. Suaminya menjawab, bahwa tidak ada amalan khusus yang dia lakukan, hanya saja ada dua perilaku yang berkesan di hati suaminya.
Pertama, meskipuan suaminya yang pengusaha tersebut sering keluar kota bahkan keluar pulau untuk urusan bisnisnya, namun bila suaminya tiba kembali ke rumah, sang isteri tidak pernah bertanya kepada suaminya datang dari mana? Bahkan dia menyambut kedatangan suaminya dengan senyum dan berpakain yang dapat menyenangkan suaminya, dia pun segera mengambil air minum dan membukakan dasi dan sepatu suaminya.
Kedua, menurut suaminya, al-marhumah semasa hidupnya, jika akan melakukan bepergian, baik ke tempat dekat atau pun jauh, beliau pasti mengambil air wudhu dahulu untuk bersuci, seakan dia yakin bahwa dengan wudhu itu, Allah akan melindunginya dari segala bahaya dalam perjalanannya.
Mendengar jawaban suami tersebut, sayapun terkagum-kagum dengan amalan sang almarhumah, bukankah Allah mencintai orang-orang yang mensucikan diri?
Saya pun mendapat pelajaran, bahwa dengan selalu bersuci, lalu hati yang suci yang tidak sedikitpun ada rasa curiga kepada suaminya dan orang lain, Allah SWT mentakdirkan dirinya wafat dalam keadaan suci (dalam keadaan masih mempunyai wudhu dan masih dalam pelaksanaan ibadah haji; ibadah suci). Juga wafat di Tanah Suci (Makkah al-Mukarramah), dan dishalatkan di masjid yang suci (masjidil haram) oleh jutaan jamaah haji yang datang dengan niat suci (berhaji ke baitullah).. Subahanallah, Laa haula wa quwwata illa billah.
(Ust. H. Muhammad Jamhuri, Lc., MA)
0 komentar:
Post a Comment